Oknum Wartawan Peras Jaksa Kejati DKI, Jadi Tersangka: Antara Etika Jurnalistik dan Nafsu Uang Kopi
- Dunia pers kembali tercoreng. Seorang pria berinisial LS yang mengaku sebagai wartawan, kini resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya karena diduga memeras seorang jaksa di lingkungan Kejati (Kejaksaan Tinggi) DKI Jakarta.
Kasus ini membuka kembali luka lama tentang integritas sebagian oknum yang mencoreng profesi jurnalis sejati.
"Telah dilaksanakan gelar perkara peningkatan status penyelidikan menjadi penyidikan dan menetapkan saudara LS sebagai tersangka,"ujar Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Minggu 31 Mei 2025.
Menurut penyelidikan, aksi pemerasan dilakukan pada 27 Mei 2025. LS mengirimkan beberapa tangkapan layar berita online yang berisi kritik terhadap kinerja Kejati DKI kepada jaksa korban.
Tak berhenti di situ, LS pun mengirim pesan yang bernada menggoda, “Barangkali ada buat ngopi-ngopi, pribadi abang aja, kalau ada titip aja bang.”
Sayangnya bagi LS, pesan itu tak berbuah 'ngopi'. Justru, aparat hukum yang meneguknya dalam bentuk penangkapan dan status hukum baru sebagai tersangka.
Dari tangan tersangka, polisi menyita barang bukti berupa satu unit ponsel, tas, bundel surat tugas dari media berinisial HR, serta uang tunai Rp5 juta dalam pecahan Rp100 ribu.
Tersangka dikenai pasal pemerasan melalui media elektronik serta pemerasan dengan ancaman membuka rahasia, sebagaimana diatur dalam UU ITE yang telah direvisi, juga pasal 369 KUHP.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DKI Jakarta, Syahron Hasibuan, membenarkan bahwa LS sempat mengaku sebagai wartawan, bahkan sesekali mengklaim dirinya sebagai bagian dari LSM.
Pelaku ditangkap oleh tim intelijen Kejati pada Rabu 28 Mei 2025 di halaman kantor Kejati DKI Jakarta.
“Setelah mengikuti persidangan, LS membuat tuduhan dan intimidasi lewat WhatsApp, lalu memberitakan serta melakukan unjuk rasa dengan narasi bahwa jaksa TH bersekongkol dengan pejabat Bea Cukai,”jelas Syahron.
Ketika Pena Digadaikan demi Sebungkus Uang Kopi
Di tengah upaya membangun kepercayaan publik terhadap media dan aparat penegak hukum, kasus ini ibarat noda tinta hitam di atas kertas putih.
Wartawan, seharusnya berdiri di garis depan penjaga nurani publik, bukan menjadi pemalak berseragam press.
Mencatut profesi wartawan untuk memeras bukan hanya menghina etika jurnalistik, tetapi juga menusuk jantung kepercayaan masyarakat pada media.
Ironisnya, motifnya pun begitu receh: ‘uang ngopi’. Bila ‘kopi’ menjadi imbalan atas teror berita dan ancaman informasi, maka rusaklah makna profesi mulia ini.
Para jurnalis sejati dan pengasuh nalar publik pasti merasa geli sekaligus geram. Karena satu oknum yang menjual harga diri demi Rp5 juta, ribuan wartawan jujur harus menanggung curiga dari masyarakat yang sudah cukup letih dengan berita palsu, framing sesat, dan kini: pemerasan berselimut kode etik.
Wartawan bukan calo isu. Dan ‘kartu pers’ bukan paspor kebal hukum. Biarkan hukum bicara. Tapi jangan lupa: kebebasan pers bukanlah kebebasan memalak.***
Komentar
Posting Komentar